Sri Mulyani Minta Masyarakat Tak Khawatir Berlebihan Soal Utang Pemerintah

 

 PakarnewsRiau- Inhu - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluhkan kebiasaan masyarakat Indonesia yang suka menyoroti jumlah utang pemerintah. Sebagai informasi bahwa jumlah utang pemerintah per akhir Juli 2024 mencapai Rp 8.502,69 triliun atau 38,68% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman.


Sri Mulyani menilai pandangan tentang besarnya nominal utang pemerintah dipengaruhi perspektif politik. Ia meminta masyarakat tidak mengkhawatirkan hal yang berlebihan karena pemerintah selama ini mengelolanya dengan sangat hati-hati.


“Masyarakat Indonesia terbiasa terus-menerus melihat utang itu lebih pada nominalnya. Ya memang ada distorsi dari sisi political perspektif versus dari sisi teknokrasi pengelolaan utang Indonesia,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (28/8/2024).


Sri Mulyani menjelaskan SBN merupakan instrumen investasi dan moneter Bank Indonesia (BI) untuk menjaga likuiditas keuangan. Ada satu masa tertentu di mana BI dan pemerintah sepakat bahwa BI akan menggunakan SBN.


“Dalam negara di mana bond marketnya sudah cukup dalam dan likuid, maka kita menerbitkan SBN cukup banyak untuk sebagai instrumen moneter. Kalau kemudian disebutkan ‘jumlah utang pemerintah termasuk SBN’, padahal SBN itu revolve 1 tahun, orang itu bisa agak histeris gitu melihatnya. Padahal itu adalah sesuatu lebih kepada instrumen dari sisi treasury likuiditas,” jelas Sri Mulyani.


Sri Mulyani menyebut pihaknya terus mensosialisasikan kondisi utang pemerintah secara transparan agar tidak memunculkan kekhawatiran berlebihan dari masyarakat. Melihat kondisi di sejumlah negara, ia menilai rasio utang pemerintah Indonesia saat ini masih jauh lebih baik.


“Kita lihat beberapa negara, makin dia mature dan dalam bonds market-nya, mereka nggak lagi ngomongin tentang jumlah utang berapa, kecuali memang kalau defisitnya kronis seperti banyak negara yang kemudian menyebabkan debt to GDP ratio-nya itu sudah di atas 60% bahkan di atas 100%,” tuturnya.


“Kalau untuk Indonesia yang sekarang ini masih di 38-39%, kita itu sebetulnya lebih fokus membuat pasar obligasi kita makin dalam dan makin likuid sehingga cost issuance dan beban utang bisa ditekan, bukan kepada masalah angkanya gede,” tambahnya. (red)


Editor : Jhon

Lebih baru Lebih lama